Web Analytics
Beralih ke bagian utama Beralih ke menu navigasi utama Beralih ke bagian footer website
Artikel Orisinal
Diterbitkan: 23-02-2025

Hubungan antara Dukungan Sosial Keluarga dengan Resiliensi Penderita TB Paru

Program Studi Profesi Ners, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Dharma Husada
Program Studi Sarjana Ilmu Keperawatan, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Dharma Husada
Program Studi Sarjana Ilmu Keperawatan, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Dharma Husada
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung
Dukungan sosial keluarga TB Paru Resiliensi

Abstrak

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis. Indonesia masih menempati urutan kedua sebagai negara dengan jumlah kasus TBC terbanyak di dunia pada tahun 2023 yang lalu mencapai sekitar 1.060.000 kasus. Pasien TB paru mengalami tanda dan gejala seperti batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Selain masalah fisiologis, juga terdapat masalah psikologis pada pasien TB paru seperti cemas penyakitnya menular pada orang lain, sikap pasif, merasa rendah diri, penerimaan diri rendah. Kemampuan seseorang untuk berkembang dalam upaya menghadapi kesulitan atau permasalahan hidupnya disebut sebagai resiliensi atau ketahanan. Salah satu faktor yang mempengaruhi  resiliensi adalah dukungan sosial keluarga.Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara dukungan keluarga dengan  resiliensi penderita TB paru di wilayah Puskesmas Garuda Bandung. Penelitian ini menggunakan metode penelitian analitik korelasi dengan pendekatan cross-sectional, sampel 65 orang dengan teknik purposive sampling. Instrumen yang digunakan berupa kuesioner dukungan sosial keluarga dan kuesioner  resiliensi pasien TB Paru. Analisis bivariat menggunakan uji Chi Square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 46 orang (70,8%) memperoleh dukungan keluarga yang baik. Sebanyak 38 orang (58,5%) memiliki  resiliensi yang tinggi. Terdapat hubungan dukungan keluarga dengan  resiliensi penderita TB paru di Puskesmas Garuda Bandung dengan p value 0,000. Simpulan dalam penelitian ini menunjukkan semakin tinggi dukungan sosial keluarga maka semakin tinggi pula  resiliensi penderita TB, maka perawat diharapkan memotivasi keluarga dalam mendukung pasien TB Paru.

Pendahuluan

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang sebagian besar menyerang organ paru-paru (TB Paru). Penularan tersebut dapat terjadi ketika pasien tuberkulosis batuk dan bersin, kuman tersebar ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Infeksi terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percikan dahak infeksius tersebut (1).

Berdasarkan data badan kesehatan dunia (WHO) bahwa sepertiga penduduk di dunia terinfeksi tuberkulosis, dan diperkirakan 10,6 juta orang (95% UI: 9,9–11,4 juta) menderita TB pada tahun 2022, naik dari perkiraan terbaik sebesar 10,3 juta pada tahun 2021 dan 10,0 juta pada tahun 2020 (2). Di Indonesia, TB paru masih menjadi masalah kesehatan yang utama saat ini. Berdasarkan Global Report Tuberculosis 2023, angka insiden tuberculosis Indonesia 391 per 100.000 penduduk dan angka kematian 42 per 100.000 penduduk (2). Berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 bahwa prevalensi TB Paru masih tinggi secara nasional, sedangkan di level provinsi, hasil pemeriksaan TB Basil Tahan Asam (BTA+) sebanyak 204.934 penderita. Dan Kecamatan Andir (Puskesmas Garuda) menduduki peringkat pertama dalam jumlah kasus dengan pertumbuhan penderita TB paru sebanyak 154 kasus (3–5).

Infeksi TB paru pada pasien penderita mengalami tanda dan gejala seperti batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih, dengan karakteristik batuk dapat bercampur darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, keringat malam hari, demam lebih dari satu bulan (6). Selain beban fisiologis tersebut, terdapat masalah psikologis pada pasien TB paru seperti cemas penyakitnya menular pada orang lain, sikap pasif, merasa rendah diri, penerimaan diri rendah (7). Pasien TB paru harus menjalani pengobatan kurang lebih 6 bulan. Hal tersebut menyebabkan pasien bosan harus minum banyak obat dalam sehari selama beberapa bulan, sehingga penderita cenderung menghentikan pengobatan (8).

Kasus terjadi pada pasien TB paru yaitu ketidakteraturan dalam berobat selama fase intensif, atau fase awal yang berlangsung sejak pasien memulai pengobatan hingga 2 bulan. Kondisi ini sangat ditentukan dengan adekuatnya motivasi penderita TB paru untuk mempertahankan status pengobatannya. Motivasi rendah dan keadaan upaya untuk mengatasi hal tersebut merupakan bentuk resiliensi (9). Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, faktor yang mempengaruhi resiliensi adalah dukungan sosial dengan bentuk dukungan untuk meningkatkan kesehatan mental dan fisik individu (10).

Hasil studi pendahuluan di Puskesmas Garuda pada tanggal 25 Maret 2024 didapatkan data bahwa Puskesmas Garuda merupakan salah satu Puskesmas dengan angka kejadian TB paru yang cukup tinggi di Bandung. Jumlah keseluruhan penderita TB paru pada tahun 2023 (Januari – Desember) sampai tahun 2024 (Januari – Maret) TB paru dengan usia produktif (15 – 55 tahun) sebanyak 186 penderita yang menjalankan pengobatan.

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan dukungan sosial keluarga dengan resiliensi penderita TB paru yang dapat menunjang literasi dan landasan pelaksanaan program manajemen TB paru pada keluarga.

Metode

Penelitian ini menggunakan metode penelitian analitik korelasi dengan pendekatan crosssectional, untuk menggambarkan tentang karakteristik reponden, serta memaparkan hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan resiliensi penderita Tb Paru di Puskesmas Garuda Bandung. Sampel 65 orang dengan teknik purposive sampling. Instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner untuk menggali seberapa jauh hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan resiliensi penderita Tb Paru di Puskesmas Garuda Bandung. Variabel Dukungan sosial keluarga menggunakan kuesioner MSPSS (Multidementional Scale of Perceived Social Support). Variabel resiliensi menggunakan Kuesioner Resiliensi pasien TB paru. Analisis univariat menggunakan distribusi frekuensi, analisis bivariat menggunakan uji Chi Square.

Penelitian ini dilaksanakan dengan mematuhi asepk etika penelitian sesuai pedoman Council for International Organizations of Medical Sciences. Responden penelitian diberikan penejelasan sebelum penelitian, dan menandatangani lembar informed concent. Etik klirens diterbitkan oleh STIKes Dharma Husada Bandung dengan nomor persetujuan 160/KEPK/SDHB/B/VIII/2024.

Hasil

Variabel f %
Dukungan Keluarga
Baik 46 70,8
Kurang Baik 19 29,2
Total 65 100
Resiliensi
Rendah 20 30,8
Sedang 7 10,7
Tinggi 38 58,5
Total 65 100
Table 1. Distribusi Frekuensi Variabel Dukungan Keluarga dan Resiliensi Penderita TB Paru

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar dari responden memperoleh dukungan keluarga yang baik yaitu sebanyak 46 orang (70,8%). Sebagian kecil dari responden memperoleh dukungan keluarga yang kurang baik yaitu sebanyak 19 orang (29,2%). Selain itu, sebagian besar responden yaitu 38 orang (58,5%) memiliki resiliensi yang tinggi. 20 responden (30,8) memiliki resiliensi rendah, dan sebagian kecil responden memiliki resiliensi sedang yaitu 7 orang (10,7%).

Dukungan Keluarga Resiliensi p-value
Rendah Sedang Tinggi Total
f % f % f % f %
Baik 2 4,3 7 15,2 37 80,4 46 70,7 0,000
Kurang Baik 18 94,7 0 0,0 1 5,3 19 29,3
Total 20 30,8 7 10,8 38 58,5 65 100
Table 2. Hubungan Resiliensi Penderita TB Paru di Puskesmas Garuda Bandung

Hasil penelitian diketahui bahwa proporsi pasien TB Paru dengan dukungan keluarga yang baik dan memiliki resiliensi rendah yaitu sebanyak 2 orang (4,3%), 7 orang (15,2%) memiliki dukungan keluarga yang baik dengan resilience sedang, dan Hampir semua dari responden yaitu 37 orang (80,4%) memperoleh dukungan keluarga yang baik juga memiliki resiliensi tinggi. Sedangkan roporsi pasien TB Paru dengan dukungan keluarga yang kurang baik hampir semuanya yaitu 18 orang (94,7%) memiliki resiliensi rendah. Hasil analisis uji chi square (p = 0,000<0,05) menunjukkan bahwa terdapat Hubungan dukungan keluarga dengan resiliensi penderita TB paru di Puskesmas Garuda Bandung.

Pembahasan

Dukungan Keluarga

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar dari responden memperoleh dukungan keluarga yang baik (70,8%). Sedangkan sebagian kecil dari responden memperoleh dukungan keluarga yang kurang baik (29,2%). Dukungan keluarga adalah suatu bentuk perilaku melayani yang diberikan oleh keluarga baik bentuk dukungan emosional, instrumental, informasional, dan dukungan penilaian (11). Bentuk dukugan tersebut yaitu keluarga selalu mendampingi pasien, menyediakan apa yang diperlukan saat menjalani pengobatan, memberikan semangat, memberikan pujian, dan memberikan dukungan religius.

Berdasarkan hasil analisis terhadap hasil jawaban responden pada kuesioner dukungan keluarga. Bentuk dukungan keluarga yang paling banyak diperoleh pasien TB Paru adalah dukungan instrumental, diperoleh skor tertinggi 15 dan skor terendah yang diperoleh responden yaitu 8. Bentuk dukungan instrumental ini diantaranya adalah: Keluarga saya benar-benar berusaha untuk membantu saya, teman-teman (kerabat) saya sangat mencoba membantu saya, dan keluarga saya bersedia untuk membantu saya dalam membuat keputusan.

Hasil penelitian ini sejalan dengan model pengembangan kesehatan keluarga (Family Health Development), bahwa keluarga merupakan kesatuan yang dalam memaksimalkan fungsi interaksinya melibatkan tahapan yang dinamis, dan fungsi tersebut terdiri atas struktur, proses, kognisi, dan perilaku (12). Hubungan yang kuat antara keluarga dengan status kesehatan anggotanya dimana peran dan dukungan penghargaan sangat penting bagi setiap aspek perawatan kesehatan anggota keluarga mulai dari strategi-strategi hingga fase rehabilitas.

Rendahnya dukungan keluarga dapat disebabkan oleh pengetahuan dan kesadaran keluarga tentang pentingnya proses pengobatan bagi pasien TB Paru. Menurut Saraswati (8) pada kondisi inilah tenaga kesehatan khususnya perawat mempunyai peran dan fungsi khusus dalam mendampingi keluarga yaitu sebagai advokat keluarga. Perawat harus bekerjasama dengan anggota keluarga dalam mengidentifikasi tujuan dan kebutuhan serta merencanakan intervensi untuk permasalahan yang ditemukan dalam perawatan pasien TB Paru. Memberikan edukasi kesehatan dan pencegahannya juga merupakan fungsi perawat yang tidak dapat dipisahkan dari perannya sebagai advokat keluarga.

Menurut asumsi peneliti penderita TB Paru yang memperoleh dukungan sosial keluarga yang baik akan memiliki keyakinan untuk menghadapi masalah maupun kesulitan yang menimpa dirinya seperti penyakit yang tengah dialami serta dapat menjalani proses pengobatan dan memiliki kepercayaan atau harapan yang tinggi untuk sembuh.

Resiliensi Penderita TB Paru

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden yaitu 38 orang (58,5%) memiliki resiliensi yang tinggi. 20 responden (30,8) memiliki resiliensi rendah, dan sebagian kecil responden memiliki resiliensi sedang yaitu 7 orang (10,7%).

Pasien TB Paru dengan resiliensi yang tinggi dapat menghadapi semua permasalahan sehingga tidak mudah putus asa dalam menghadapi kenyataan bahwa individu tersebut menderita suatu penyakit. Individu dengan resiliensi yang tinggi mampu melibatkan kemampuan dalam penyesuain diri yang tinggi dan mampu menyesuaikan diri saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal. Hasil penelitian didaptkan penderita TB paru dengan resiliensi sedang sebesar (10,8%), hal ini bisa dikarenakan individu masih dalam proses belajar dalam mengendalikan emosi atau tekanan-tekanan dari luar sehingga individu tersebut bisa saja tingkat resiliensi nya akan semakin tinggi maupun rendah.

Supaya resiliensi sedang agar tidak menjadi rendah maka dibutuhkan dukungan sosial lebih dari keluarga sehingga dapat meningkatkan resiliensi pada penderita TB paru. Hasil penelitian didapatkan penderita dengan resiliensi rendah sebesar (30,8 %), hal ini dikarenakan individu tidak dapat mengatur emosi dalam keadaan yang menekan sehingga membuat individu tidk bisa menerima hal-hal positif yang diberikan oleh orang-orang disekitarnya. Menurut asumsi peneliti keterlibatan individu dengan hubungan dari luar seperti ekstrakulikuler dapat meningkatkan resiliensi. Disaat kesulitan individu yang resiliensi seringkali mencari dan menerima dukungan dari luar, seperti kader, petugas kesehatan, dan orang-orang dilingkungan kerja. Hal ini dikarenakan dukungan sosial dari keluarga, teman, serta orang-orang disekitarnya memiliki peranan penting untuk mencegah dari ancaman kesehatan mental. Individu yang memiliki dukungan sosial yang sangat kecil, lebih memungkinkan mengalami konsekuensi psikis yang negatif (13).

Responden yang menjawab dengan skor terendah pada pernyataan nomor 31 yaitu sebagian dari responden masih berpikiran bahwa penyakit TB paru yang sedang dialaminya saat ini tidak dapat disembuhkan. Hal ini bisa jadi karena ada beberapa keluarga yang kurang informasi terkait penyakit yang dialami oleh anggota keluarga dan juga responden tersebut kurang terpapar informasi terkait penyakit TB, bisa juga karena kepercayaan yang diyakini oleh penderita sebab responden tersebut pernah mengalami atau menderita penyakit TB paru dan tidak sembuh sehingga responden tersebut meyakini bahwa penyakit TB tidak dapat disembuhkan.

Menurut asumsi peneliti pasien TB paru dengan resiliensi yang tinggi akan memiliki keyakinan yang tinggi dalam menjalani pengobatan hingga selesai. Peneliti berasumsi individu dengan resiliensi yang tinggi memilki kesadaran tinggi terkait permasalahan kesehatan yang terjadi pada dirinya. Hal ini menjadikan penderita TB paru mampu menjaga kesehatannya sehingga meningkatkan resiliensi.

Hubungan Dukungan Keluarga dengan Resiliensi Penderita TB Paru

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa proporsi pasien TB paru dengan dukungan keluarga yang baik dan memiliki resiliensi rendah yaitu sebanyak 2 orang (4,3%), 7 orang (15,2%) memiliki dukungan keluarga yang baik dengan resiliensi sedang, dan hampir semua dari responden yaitu 37 orang (80,4%) memperoleh dukungan keluarga yang baik juga memiliki resiliensi tinggi. Sedangkan proporsi pasien TB Paru dengan dukungan keluarga yang kurang baik hampir semuanya yaitu 18 orang (94,7%) memiliki resiliensi rendah. Hasil analisis uji chi square (p = 0,000<0,05) menunjukkan bahwa terdapat Hubungan dukungan keluarga dengan resiliensi penderita TB paru di Puskesmas Garuda Bandung.

Faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan sosial pada penderita TB paru tidak hanya dari keluarga saja, tetapi juga dipengaruhi oleh kelompok sosial seperti di lingkungan pekerjaan. Data frekuensi distribusi demografi pekerjaan responden di Puskesmas Garuda didominasi oleh pekerjaan lain-lain (penjaga warkop, IRT, buruh pasar, becak, supir) sebanyak 24 orang (38,1 %) dan responden tersebut masuk didalam kategori pekerjaan lain-lain. Hal ini lah yang menyebabkan responden memiliki resiliensi rendah karena tidak adanya dukungan yang positif dari kelompok sosial yaitu dilingkungan pekerjaan, maka perlu adanya bantuan dari kader atau petugas kesehatan di Puskesmas Garuda untuk memotivasi penderita TB paru memerlukan dukungan yang diberikan oleh lingkungan sekitarnya. Keinganan untuk sembuh dari dirinya sendiri tidak akan terpenuhi tanpa adanya motivasi dari keluarga dan lingkungan sekitar.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan resiliensi penderita TB paru di Puskesmas Garuda responden yang memiliki dukungan sosial keluarga baik dengan resiliensi rendah sebanyak 2 orang (4,3 %). Dukungan sosial merujuk pada kenyamanan yang dirasakan, perhatian, penghargaan atau bantuan yang diterima seseorang dari orang terdekat atau kelompok sosial (8).

Responden yang memiliki dukungan sosial keluarga baik dengan resiliensi sedang sebanyak 7 orang (15,2 %). Hal ini diperkuat oleh penelitian dari Hadiningsih (2014) dukungan sosial merupakan salah satu istilah yang digunakan untuk menerangkan bahwa bagaimana dukungan sosial bermanfaat bagi kesehatan mental atau fisik individu. Individu tidak akan terlepas dari kesulitan, sehingga individu tersebut dituntut untuk memiliki kemampuan untuk bertahan dari kesulitan tersebut, dan dukungan sosial menjadi penyangga bagi individu saat mengalami kesulitan (14).

Peneliti berasumsi apabila keyakinan seseorang rendah maka peluang kegagalan akan semakin tinggi. Dengan adanya resiliensi yang baik tentunya hidup seseorang akan lebih sejahtera, seseorang yang memiliki resiliensi yang baik bisa jadi dipengaruhi oleh keyakinan yang kuat untuk mencapainya, jika keyakinan seseorang tidak menentu akan dapat membuat kinerja menjadi tidak stabil, sedangkan untuk mencapai resiliensi yang bagus dibutuhkan keyakinan yang tinggi (15).

Responden yang mendapatkan dukungan sosial keluarga baik dengan resiliensi tinggi sebanyak 37 orang (80,4%). Individu dengan resiliensi tinggi mampu mengelola emosi secara sehat, meskipun individu tersebut berhak merasakan sedih, marah, sakit hati, maupun tertekan. Perbedaannya ialah individu dengan resiliensi tinggi tidak membiarkan perasaan negatif menetap dalam waktu yang lama, dan secara cepat mampu beradaptasi dari perasaan negatif sehingga menumbuhkan motivasi dan membantunya bangkit menjadi lebih kuat.

Peneliti berasumsi bahwa keluarga menjadi salah satu sumber yang memainkan peranan penting dalam peningkatan resiliensi, keluarga akan memberikan pengarahan dan informasi yang berguna untuk menghadapi perubahan. Keluarga juga akan memberikan motivasi, sehingga individu akan termotivasi, lebih optimis, dan percaya akan kemampuan yang dimiliki untuk meraih kesuksesan. Dukungan sosial sangat penting karena merupakan bentuk dorongan kepada penderita TB paru untuk menjalani pengobatan dengan baik serta mampu menjalani maupun melewati masa sulit dengan cepat karena merasa bahwa ada orang lain yang peduli terhadapnya. Hal ini bisa dikarenakan tingginya dukungan sosial keluarga yang diberikan kepada penderita sehingga meningkatkan resiliensi penderita TB paru.

Hasil penelitian menunjukan bahwa hubungan antara dukungan sosial keluarga dengan resiliensi penderita TB paru di Puskesmas Garuda responden yang mendapatkan dukungan sosial keluarga kurang dengan resiliensi sedang sebanyak 2 orang. Pada analisis terhadap jawaban kedua responden tersebut pada kuesioner dukungan keluarga, diperoleh responden menjawab TS (tidak setuju) pada pernyataan nomer 4, 7, 8, dan 9. Pernyataan nomer 4 tentang “Saya mendapatkan bantuan dan dukungan emosional yang saya butuhkan dari keluarga saya”, pertanyaan nomer 7 tentang “Saya dapat mengandalkan teman-teman saya ketika ada sesuatu yang salah”, pertanyaan nomer 9 tentang “Saya memiliki teman untuk berbagi suka dan duka”, dan pernyataan nomer 10 mengenai “Ada orang istimewa di dalam hidup saya yang peduli tentang perasaan saya”. Berdasarkan jawaban kedua responden tersebut maka dapat disimpulkan bahwa responden tidak memperoleh dukungan sosial keluarga yang baik pada aspek emosional dan hubungan sosial. Ketika individu mempunyai masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteem membantu mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian terdapat 1 responden yang memperoleh dukungan keluarga kurang namun memiliki resiliensi yang tinggi. Berdasarkan hasil analisis terhadap jawaban responden pada kuesioner dukungan sosial keluarga diperoleh bahwa responden menjawab tidak setuju (TS) pada pernyataan nomer 4, 7, 8, dan 10. Keempat pernyataan tersebut berkaitan dengan dukungan emosional dari keluarga, serta dukungan berupa perhatian dari teman atau orang yang dikenal dekat oleh responden. Analisis terhadap jawaban responden pada kuesioner resiliensi diperoleh bahwa responden menjawab setuju (S) pada pernyataan nomer 1 tentang “Semangat dan kesungguhan membuat saya dapat melewati suatu masalah”, pernyataan nomer 4 tentang “Saya berusaha untuk tidak merasa tertekan karena suatu masalah”. Pernyataan nomer 8 tentang “Saya merasa bangga karena mampu bertahan dalam proses pengobatan”, dan pernyataan nomer 31 mengenai “Saya berpikir Tuberkulosis yang saya alami saat ini tidak dapat disembuhkan”.

Menurut asumsi peneliti kondisi tersebut dapat terjadi karena responden tersebut memiliki respon yang baik dalam menghadapi suatu masalah, responden memiliki respon yang positif yaitu semangat dan kepercayaan untuk sembuh, sejalan dengan hasil penelitian Anggraini et al. (16) yang menjelaskan bahwa kemampuan resiliensi tidak hanya dipengaruhi oleh dukungan sosial keluarga, akan tetapi muncul dari kualitas diri yang sehat baik secara fisik dan emosional.

Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 46 orang (70,8%) memperoleh dukungan keluarga yang baik. Sebanyak 38 orang (58,5%) memiliki resiliensi yang tinggi. Terdapat hubungan dukungan keluarga dengan resiliensi penderita TB paru di Puskesmas Garuda Bandung dengan p value 0,000. Simpulan dalam penelitian ini menunjukkan semakin tinggi dukungan sosial keluarga maka semakin tinggi pula resiliensi penderita TB, maka perawat diharapkan memotivasi keluarga dalam mendukung pasien TB Paru.

Sumber Pustaka

1. Tobin EH, Tristram D. Tuberculosis Overview. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2024 [cited 2025 Feb 23]. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441916/

2. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2023. World Health Organization; 2023.

3. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. Perubahan Rencana Strategis (Renstra) Tahun 2018-2023. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat; 2023.

4. Dinas Kesehatan Kota Bandung. Profil Kesehatan Kota Bandung Tahun 2023. Dinas Kesehatan Kota Bandung; 2023.

5. Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan. Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 Dalam Angka. Kementerian Kesehatan; 2023.

6. Lyon SM, Rossman MD. Pulmonary Tuberculosis. Microbiol Spectr. 5(1):10.1128/microbiolspec.tnmi7-0032–2016.

7. Sari Y. Gambaran Stigma Diri Klien Tuberkulosis Paru (TB Paru) yang Menjalani Pengobatan di Puskesmas Malingping. Media Ilmu Kesehat. 2018;7(1):43–50.

8. Saraswati DR. Hubungan antara Dukungan Sosial dan Optimisme dengan Resiliensi pada Penderita Tuberkulosis [Internet] [Undergraduate thesis]. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; 2018 [cited 2025 Feb 23]. Available from: https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/30282/

9. Riani S. Tingkat Resiliensi Dengan Kualitas Hidup Pasien Tb Paru Yang Menjalani Rawat Jalan. J Ilmu Keperawatan Jiwa. 2022;5(3):461–9.

10. Prasetya ZA, Hartati E, Muin M, Sudarmiati S. Hubungan Antara Dukungan Sosial Keluarga Dengan Perilaku Pencegahan Penularan Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Purwodadi [Internet] [Undergraduate thesis]. Universitas Diponegoro; 2015 [cited 2025 Feb 23]. Available from: http://eprints.undip.ac.id/51946/

11. Kristinawati B, Muryadewi A, Irianti AD. The Role of Family as A Caregiver in Caring for Family Members that are Suffering from Pulmonary Tuberculosis. J Ners. 2019;14(3):362–6.

12. Feinberg M, Hotez E, Roy K, Ledford CJW, Lewin AB, Perez-Brena N, et al. Family Health Development: A Theoretical Framework. Pediatrics. 2022 May;149(Suppl 5):e2021053509I.

13. Lincoln KD. Social Support, Negative Social Interactions, and Psychological Well-Being. Soc Serv Rev. 2000 Jun 1;74(2):231–52.

14. Junaida SR, Hamid AYS, Chandra YA. Peran Dukungan Sosial dan Strategi Koping Dalam Mendukung Kesehatan Mental Caregiver Keluarga yang Merawat HIV/AIDS : Systematic Review. MAHESA Malahayati Health Stud J. 2024 Jun 1;4(6):2544–57.

15. Pandini I, Lahdji A, Noviasari NA, Anggraini MT. The Effect of Family Social Support and Self Esteem in Improving the Resilience of Tuberculosis Patients. Media Keperawatan Indones. 2022 Feb 25;5(1):14–21.

16. Anggraini OD, Wahyuni EN, Soejanto LT. Hubungan antara efikasi diri dengan resiliensi menghadapi ujian pada siswa kelas XII SMAN 1 Trawas. J Konseling Indones. 2017 Apr;2(2):50–6.

Metrik

Metrik sedang dimuat ...

Cara Mengutip

Fazriana, E., Matrof, R. S., Daryaman, U., & Sesilia, F. (2025). Hubungan antara Dukungan Sosial Keluarga dengan Resiliensi Penderita TB Paru. Kisi Berkelanjutan: Sains Medis Dan Kesehatan, 2(1), e38. Diambil dari https://kisiberkelanjutan.com/index.php/smk/article/view/38